Background

Background

Silahkan klik beberapa gambar di bawah ini

  • image1
  • image2
  • image3
  • image4
  • image2
  • image1
  • image4
  • image3
Tinjauan Umum Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota)
L.M.F. Purwanto Staff Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Katolik Sugijopranoto
e-mail: purwanto@gmx.de

Gambar Benteng „Vijfhoek“ tahun 1756 (Sumaningsih, Y.T., 1995)
(
ABSTRAK
Kota lama Semarang, sebuah obyek yang menarik. Tidak hanya sekedar obyek wisata, namun juga sebagai obyek penelitian yang tak ada habisnya. Setelah banyak dikupas dari sisi sejarah, tata kota dan pariwisata, mulai berkembang penelitian mengenai konservasi dan kondisi fisik bangunannya. Penelitian perkembangan kota juga diperlukan untuk penelitian sekunder dalam pengamatan perubahan kondisi klimatologi. Karena semakin padat penduduk dan sarana transportasinya, akan berpengaruh terhadap perubahan klimatologi. Namun sisi arkeologi yang mencoba mengupas jejakjejak peninggalan sejarah di kota lama ini belum banyak dilakukan. Satu bagian dari disertasi ini, mengupas sejarah dengan pendekatan historikal dan studi pustaka, yang masih membuka peluang diskusi tentang pembuktian arkeologis jejak-jejak kota lama yang telah hilang. Bukti adanya benteng di kota lama Semarang, hanya dapat dijumpai dalam peta, namun penelitian arkeologis untuk memperkuat keberadaan benteng tersebut dirasa perlu dilakukan.

PENDAHULUAN
Sejak lama, kota lama Semarang telah menjadi satu obyek yang sangat menarik. Pada awal mula terbentuknya, seakan menjadi lahan percobaan dan ladang uji coba para arsitek dalam menuangkan ide perencanaannya, baik dari sisi perkotaan maupun arsitekturnya. Peninggalan bangsa Belanda ini, tetap terawat dan terjaga setelah masa kemerdekaan dan bahkan sampai saat ini. Setelah diangkat sebagai obyek pariwisata dan dipromosikan sebagai maskot kota Semarang, bahkan dengan julukan „Belanda mini“, maka banyak peneliti perkotaan dan arsitektur
mulai bermunculan dan seakan satu mata air yang tak habis-habisnya ditimba. Penelitian yang ada saat itu
masih menggunakan metoda pendekatan historikal semata. Buku-buku kuno, foto-foto dan peta-peta kuno diulas dan di analisis. Namun penelitian arkeologis untuk membuktikan kebenaran peta-peta kuno belum pernah dilakukan. Karena bukti fisik berupa foto, sampai sekarang belum lengkap. Sebagai contoh, keberadaan Benteng kota Semarang  masih lemah dan dapat diperdebatkan, apakah yang ada di peta benar-benar ada dan pernah ada, atau gambar tersebut dahulu masih berupa gambar pra rencana yang belum sempat terbangun. Maka pembuktan arkeologis sangat diperlukan. 

Penelitian ini masih menggunakan pendekatan  historikal, karena penelitian perkembangan kota dilakukan sebagai pendukung untuk pengamatan adanya perubahan kondisi klimatologis dalam Kota lama Semarang. Perubahan kondisi klimatologis ini memberikan andil yang cukup besar dalam perubahan kondisi iklim mikro di dalam bangunan
kuno di Kota lama Semarang ini. 

PERKEMBANGAN KOTA DAN ARSITEKTUR HINDIA BELANDA DI INDONESIA
Sejarah mencatat, bahwa bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Indonesia adalah Portugis, yang kemudian  diikuti oleh Spanyol, Inggris dan  Belanda. Pada mulanya kedatangan mereka dengan maksud berdagang. Mereka membangun rumah dan pemukimannya di beberapa kota di Indonesia yang biasanya terletak dekat dengan pelabuhan. Dinding rumah mereka terbuat dari kayu dan papan dengan penutup atap ijuk. Bangsa Eropa berusaha menguasai
perekonomian d Indonesia dan sering terjadi konflik diantara mereka sendiri. Sementara itu bangsa Indonesia sendiri tidak menyukai sistem perdagangan mereka, sehingga terjadi pula konflik  antara orang Indonesia dan bangsa Eropa. Karena konflik-konflik tersebut, maka mereka tidak merasa nyaman lagi. Mulailah mereka
membangun benteng-benteng. Dinding benteng tersebut dibuat dari tanah liat dengan ketinggian 2,5 m dan tebal 1m. Benteng-benteng tersebut hampir dapat dijumpai di setiap kota-kota besar dan kota perdagangan di Indonesia. Banyak benteng dibangun sebagai pusat militer dan pusat pendukung yang strategis bagi pemerintahan Hindia Belanda, seperti di Ambon, Ternate, Makasar, Banten, Batavia dan Semarang. Di Ambon dibangun benteng pada tahun
1580 dengan nama Benteng „Victoria“, di Makasar bernama Benteng „Rotterdam“, di Jakarta pada tahun 1611 dengan nama Benteng „Batavia“ (lihat gambar 1) dan di Semarang dengan nama Benteng „Vifjhoek“. 

Ada kemungkinan lain, bahwa pembangunan benteng, juga merupakan tren saat itu, karena hampir di setiap kota di Eropa juga dikelilingi oleh benteng. Biasanya mereka berdekatan dengan stasiun kereta api atau pelabuhan. Di Semarang sendiri, lokasinya sangat mirip dengan kota-kota di Eropa (seperti juga terlihat di Jerman).

Di dalam benteng tersebut, mulailah bangsa Eropa membangun beberapa bangunan dari bahan batu bata. Batu bata dan para tukang didatangkan dari negara Eropa. Mereka membangun banyak rumah, gereja dan bangunan-bangunan umum lainnya dengan bentuk tata kota dan arsitektur yang sama persis dengan negara asal mereka. Dari era ini pulalah mulai berkembang arsitektur kolonial Belanda di Indonesia.

Setelah melewati beberapa kali peperangan, maka mereka merasa perlu untuk meningkatkan keamanan benteng dengan membangun banyak kanal dan saluran disekitar benteng. Selain itu, pembangunan kanal ini semakin memperkuat suasana kota-kota yang semakin mirip dengan suasana kota di Belanda. Memang ada beberapa kanal yang dibangun dengan alasan untuk menanggulangi banjir, seperti di kota Semarang dan Jakarta.

Perkembangan kota di dalam benteng semakin lama semakin padat dan mereka mulai berani mengembangkan di luar Benteng. Setelah mereka dapat semakin meningkatkan keamanan dan mampu menekan pergolakan-pergolakan yang ada, serta kebutuhan akan sarana transportasi yang menuntut pelebaran jalan, maka mulailah mereka membongkar benteng. Jalan-jalan dibangun dan menembus pemukiman di dalam benteng. 

Setelah memiliki pengalaman yang cukup dalam membangun rumah dan bangunan di daerah tropis lembab, maka mereka mulai memodifikasi bangunan mereka dengan bentuk-bentuk yang lebih tepat dan dapat meningkatkan kenyamanan di dalam bangunan. Teritisan yang panjang dan pembayangan mulai dipikirkan dalam bangunan kolonial Belanda tersebut. Kritik dari H.P. Berlage dan Hoytema juga sangat berperan dalam perubahan paradigma pembangunan bangunan kolonial Belanda di
Indonesia (Cramer, B.J.K, 1924). Bangunan Karya Thomas Karsten menjadi bukti adanya upaya memperhitungkan permasalahan iklim, lingkungan dan budaya dalam bangunan kolonial Belanda.

Bentuk kota Semarang saat ini sangatlah berbeda dengan bentuk kota Semarang pada masa awal mulanya. Van Bemmelen, seorang ahli geologi Belanda, mengemukakan satu teorinya, bahwa garis pantai utara pulau Jawa pada jaman dahulu terletak beberapa kilometer menjorok ke daratan saat ini. Laju pengendapan lumpur yang membuat endapan tanah baru bergerak dengan kecepatan 8 m per tahun. Endapan lumpur tersebut berasal dari Demak yang mengalir melalui sungai Kali Garang.
Bentuk dari garis pantai tahun 900 dapat dilihat pada gambar 3, di mana garis perbukitan Bergota merupakan garis pantai pada saat itu.

Pada tahun 900 bis 1500 merupakan masa permulaan endapan alluvial. Pembentukannya dimulai dari sedimentasi endapan lumpur dari daerah Muara yang berasal dari Kali Kreo, Kali Kripik dan Kali Garang. Semarang merupakan satu kota besar dan merupakan kota perdagangan dari kerajaan Demak. Pada tahun 1476 Kiai Ageng Pandanaran mulai membangun pemukiman Pribumi. Awal 1500 Garis pantai Semarang teah mencapai daerah Sleko saat ini. Pada saat itu pelabuhan Semarang telah menjadi pelabuhan penting dan terkena, sehingga banyak kapal dagang asing berlabuh di sana. Pedagang Cina mendarat sekitar permulaan abad 15, Portugis dan Belanda pada permulaan abad 16, dari Malaysia, India, Arab dan Persia pada permulaan abad 17. Para pendatang tersebut membuat pemukiman-pemukiman etnis
masing-masing seperti terlihat pada gambar 4. 

Orang-orang Belanda dan Melayu mendirikan permukimannya di muara Kali Semarang, orangorang Cina bermukim di sekitar Simongan dan perkampungan Jawa di sepanjang Kali Semarang. Pada saat itu Semarang masuk dalam wilayah pemerintahan Susuhunan Surakarta, tetapi kemudian digadaikan ke pemerintahan Belanda, karena Susuhunan meminjam uang dari VOC dalam jumlah yang besar. Semarang selanjutnya menjadi basis militer dan pusat perdagangan Belanda. Karena sering timbul konflik dan peperangan dengan rakyat yang tidak menghendaki Semarang dibawah kekuasaan Belanda, maka kemudian pada tahun 1600, Belanda membangun benteng di pusat Kota Semarang. Di dalam Benteng ini kemudian berkembang pula sebagai perkampungan Belanda.  Benteng ini memiliki lima menara pengawas
(gambar 5).

Wilayah kota Semarang berkembang pesat pada pertengahan abad 18 dengan membangun banyak bangunan perkantoran dan fasilitas sosial. (gambar 6). Kota Semarang semakin berkembang dan banyak jalan-jalan baru dibangun pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda juga memindahkan pemukiman Cina dari daerah Simongan (Gedung Batu) ke pemukiman baru dekat pemukiman Belanda yang sekarang dikenal dengan Pecinan Semarang, karena orang Cina memberontak membantu Sultan Surakarta melawan Belanda. Ada dua kawasan pemukiman besar, yaitu Pemukiman Belanda dibawah pemerintahan gubernur Belanda, yang mengurus daerah di dalam Benteng dan penduduknya dan pemukiman pribumi yang berada di luar gerbang benteng. Di dalam Benteng berkembang menjadi satu pemukiman dan kota tersendiri dan berfungsi mengatur seluruh kota Semarang, karena di dalam Benteng inilah terdapat pusat pemerintahan. Ketika perkembangan perekonomian Belanda semakin meningkat, maka mulai dibangun vila-vila di Bojong dan Randusari di sekitar tahun 1758. (Jessup, H., 1985)


Pemukiman Pribumi juga berkembang sampai Poncol, Randusari, Depok dan lain-lain. Pada saat itu jalan penghubung antara Bojong dan Depok juga mulai dibangun (gambar 7). Dilanjutkan dengan pembangunan jalan Mataram sampai utara batas kota dan jalan Ronggowarsito sampai pantai utara, jalan Bulu, Jagalan dan jalan Petudungan (gambar 8) 

Dalam Staatsblatt 1906, Nomer 120, dijelaskan, bahwa pemerintahan Semarang disebutkan sebagai „Staadsgemeente van Semarang“. Hal in berarti, bahwa Semarang bukan lagi dipimpin oleh Bupati. Hal ini disebabkan Semarang sudah menjadi kota besar dengan permasalahan yang lebih kompleks. Pelabuhan Tanjung Mas dan Bandara Kalibanteng mulai dibangun sekitar tahun 1931 sampai 1933, bersamaan dengan pembangunan Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur. Tahun 1930  Ingenieur Herman Thomas Karsten mengajukan rencana master plan untuk pengembangan kota Semarang. (Jessup, H., 1985)

Tahun 1942 terjadi perang dunia II yang mngakibatkan perpindahan kekuasaan dari Belanda ke pemerintahan Jepang. Hal menjadikan perkembangan kota Semarang mulai tersendat. Tentara Jepang malah banyak melakukan perusakan di manamana. Setelah Jepang kalah perang dan meninggalkan Indonesia, dimulai lagi  perkembangan kota Semarang. Batas kota Semarang mulai lagi melebar. Sejak awal tahun 1950 pemukiman di Krobokan, Seroja, Pleburan, Jangli, Mrican dll mulai berkembang pesat. Pusat perdagangan juga mulai bermunculan seperti pasar Johar, Bulu, Dargo, Karangayu dan Pasar Langgar. Sarana trasportasi modern juga semakin lengkap dengan adanya stasiun Bubakan. Selanjutnya daerah Srondol berkembang menjadi pusat perdagangan dan industri.

KOTA LAMA SEMARANG 
Kota Lama Semarang terletak di Kelurahan Bandarharjo, kecamatan Semarang Utara. Batas Kota Lama Semarang adalah sebelah Utara Jalan Merak dengan stasiun Tawang-nya, sebelah Timur berupa jalan Cendrawasih, sebelah Selatan adalah jalan Sendowo dan sebelah Barat berupa jalan Mpu Tantular dan sepanjang sungai Semarang. Luas Kota Lama Semarang sekitar 0,3125 km Seperti kota-kota lainnya yang berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda, dibangun pula benteng sebagai pusat militer. Benteng ini berbentuk segi lima dan pertama kali dibangun di sisi barat kota lama Semarang saat ini. Benteng ini hanya memiliki
satu gerbang di sisi selatannya dan lima menara pengawas. Masing-masing menara diberinama: Zeeland, Amsterdam, Utrecht, Raamsdonk dan Bunschoten. Pemerintah Belanda memindahkan pemukiman Cina pada tahun 1731 di dekat pemukiman Belanda, untuk memudahkan pengawasan terhadap segala aktifitas orang Cina. 

Oleh sebab itu, Benteng tidak hanya sebagai pusat militer, namun juga sebagai menara pengawas bagi segala aktifitas kegiatan orang Cina. Kemudian permukiman Belanda mulai bertumbuh di sisi timur benteng „Vijfhoek“. Banyak rumah, gereja dan bangunan perkantoran dibangun di pemukiman ini. Pemukiman ini adalah cikal bakal dari kota lama Semarang. Pemukiman ini terkenal dengan nama „de Europeeshe Buurt“. Bentuk tata kota dan arsitektur pemukiman ini dibentuk mirip dengan tata kota dan arsitektur di Belanda. Kali Semarang dibentuk menyerupai Kanal-kanal di Belanda. Pada masa itu benteng „Vifjhoek“ belum menyatu dengan pemukiman Belanda (gambar 11). 

Kota lama Semarang direncanakan sebagai pusat dari pemerintahan kolonial Belanda dengan banyak bangunan kolonialnya. Ini terjadi setelah penandatanganan perjanjian antara Mataram dan VOC pada tanggal 15 Januari 1678. Dalam perjanjian tersebut dinyatakan, bahwa Semarang sebagai Pelabuhan utama kerajaan Mataram telah diserahkan kepada pihak VOC, karena VOC membantu Mataram menumpas pemberontakan Trunojoyo. Mulai tahun 1705, Semarang menjadi milik secara penuh V.O.C. Sejak saat itu mulai muncul banyak pemberontakan. Dan suasana menjadi tidak aman lagi. Belanda membangun Benteng untuk melindungi pemukimannya. Benteng yang terletak di sisi barat kota lama ini di bongkar dan dibangun benteng baru yang melindungi seluruh kota lama Semarang. Pada dinding sebelah barat terltak di sepanjang jalan Mpu Tantular (dahulu „Wester-wal-Straat“) dan Kali Semarang. 

Dinding sisi Utara terletak di sepanjang jalan Merak (dahulu  „Norder-wal-Straat“). Tembok timur terletak di jalan Cendrawasih („Ooster-wal-Straat“) dan tembok sisi selatan terletak di jalan Kepodang, yang dahulu bernama „Zuider-wal-Straat“ (gambar 11 dan 12). Benteng ini memiliki tiga Gerbang di sisi Barat,
Timur dan Selatan. Gerbang barat bernama „de Wester Poort“ atau „de Gouvernementspoort“, karena terletak dekat dengan daerah pemerintahan VOC. Gerbang selatan bernama „de Zuider Poort“ dan Gerbang timur bernama „de Oost Poort“. Kehidupan di dalam Benteng berkembang dengan baik. Mulai banyak bermunculan bangunanbangunan baru. Pemerintah Kolonial Belanda  membangun gereja Kristen baru yang bernama gereja „Emmanuel“ yang sekarang terkenal dengan nama „Gereja Blenduk“. Pada sebelah utara Benteng dibangun Pusat komando militer untuk menjamin pertahanan dan keamanan di dalam benteng.

Tahun 1824 gerbang dan menara pengawas benteng ini mulai dirobohkan. Orang Belanda dan orang Eropa lainnya mulai menempati pemukiman di sekitar jalan Bojong (sekarang jalan Pemuda). Pada era ini kota lama Semarang telah tumbuh menjadi kota kecil yang lengkap. Pada saat pemerintahan gubernur Jenderal Daendels (1808-1811), dibangun jalan post (Postweg) antara Anyer dan Panarukan. Jalan „de Heerenstraat“ (sekarang jalan Let. Jend. Suprapto) menjadi bagian dari jalan post tersebut (van Lier, H.P.J. 1928).

Banyak bangunan di perbaiki. Gereja kristen Emmanuel (Gereja Blenduk) yang berarsitektur reinessance direnovasi pada tahun 1894. Tahun 1924, seperempat abad setelah berakhirnya VOC, pemukiman Belanda mulai berkembang ke jalan Bojong, ke arah barat (jalan Daendels) dan di sepanjang jalan Mataram. Menjelang abad 20 kota lama semakin berkembang pesat dan banyak dibangun kantor perdagangan, bank, kantor asuransi, notaris, hotel, dan pertokoan. Di sisi Timur gereja Belenduk, dibangun lapangan terbuka yang digunakan untuk parade militer atau pertunjukan musik di sore hari (van Velsen M.M.F. 1931) Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia mengambil alih usaha-usaha dagang Belanda, kantor-kantor dan bangunan-bangunan lainnya. Karena tidak adanya perkembangan dalam
pengelolaan perdagangan dan perekonomian di wilayah kota lama ini, maka banyak pemilik baru bangunan kuno ini yang meninggalkan bangunannya dan dibiarkan kosong tak terawat. Kota lama Semarang dianggap bukan lagi sebagai pusat kota, pusat perekonomian dan pusat segala kegiatan, namun bergeser di tempat lain. Dengan demikian lambat laun kota ini menjadi mati dan hanya beberapa bangunan saja yang masih berfungsi. Di malam hari tidak ada kegiatan sama sekali di kota ini, sehingga benar-benar menjadi kota mati di malam hari.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini, diketahui bahwa kota lama Semarang telah mengalami beberapa periode perkembangan. Walaupun perkembangan tersebut tercatat dalam buku, gambar dan peta, namun penelitian arkeologis untuk membuktikan keberadaan bangunan dan benteng yang telah runtuh, belum dilakukan. Sisa-sisa reruntuhannya tidak diketahui jejaknya sama sekali. Sehingga menimbulkan keraguan, apakah peta tersebut menunjukkan kebenaran, bahwa dahulu memang ada dan pernah berdiri benteng tersebut, ataukah peta tersebut menggambarkan suatu rencana (gambar pra rencana).

Dengan demikian kota lama Semarang masih menyimpan “Misteri” yang memungkinkan dijadikan obyek penelitian lebih lanjut. 

DAFTAR PUSTAKA
Brommer, B, et.al., Beeld van Een Stadt, Asia Major, Nederland. 1995.
Cramer, B.J.K. Dr. Berlage over moderne Indische Bouwkunst en Stadtsontwikkeling, Indisch Bouwkundig Tijdschrift 2. 1924, H.6
Jessup, H., The Dutch Colonial Villa, Indonesia, In MIMAR 13: Architecture in Development, Concept Media Ltd, Singapore. 1984. 
Jessup, H., Dutch Architectural Visions of the Indonesian Tradition, in Muqarnas III: An Annual on Islamic Art and Architecture, Journal Article 4, 1985, H.3
Karsten, H.T. Bij de eerste Indiese Architectuur Tentoonsteeling, De Teak 3, 1920, H. 33 
Muljadinata, A. S., Karsten dan Penataan Kota Semarang, Thes. Mag. Arch., Institut Teknologi Bandung. 1993.
Sumaningsih, Y.T., Sistem Visual Kawasan Pusat Kota Lama, studi kasus: Pusat Kota Lama Semarang,Thes. Mag. Arch., Universitas Gadjahmada Yogyakarta. 1995.
van der Wall, V.J., Oude Hollandsche Bouwkunst in Indonesia, Hollandsche koloniale bouwkunst in de XVII ein XVIII eeuw, Antwerp. 1942.
van Lier, H.P.J. Semarang´s Stad en ”ommelanden”, ohne Verlag, Semarang. 1928.
van Velsen, M.M.F. Gedenkboek der Gemeente Semarang, N.V. Dagblad de Lokomotief, Semarang. 1931.
--------, Ohne Verfasser: Daten, Fakten, Aspekte, INDONESIEN, ein Länderprofil, Evangelisches Missionswerk in Südwestdeutschland e.V., Stuttgart. 1989.
---------, Stichting Viering 400 jaar VOC, Die niederländische Regierung, Amsterdam http://voc-kenniscentrum.nl/. 1999.

Arsitek Kota Indonesia : Berbagai hasil karya Thomas Karsten di Indonesia. Foto Thomas Karsten (kanan atas). 
Sumber : parametrthinkbeyond.com

Refleksi bagi Perencana Kota Indonesia
Karsten dan Kontribusinya


Thomas Karsten merupakan salah figur yang penting dalam perencanaan kota-kota di Indonesia. Selama kehadiran di Hindia Belanda selama periode 1914 – 1941, Karsten telah merencanakan 12 kota di Jawa, tiga di Sumatera dan satu di Kalimantan. Pada saat itu jumlah kota tidaklah sebanyak sekarang. Bahkan dapat disebutkan Karsten telah merencanakan setengah dari kota-kota yang ada saat itu (yang jumlahnya 30 kota).


Kontribusi Karsten berkaitan dengan praktek perencanaan kota dan prinsip-prinsip arsitektur di Indonesia. Karsten mengembangkan gagasan mengenai proses dan upaya mengembangkan wacana ilmiah baru dan visi sosial untuk Hindia Belanda saat itu. Gagasan Karsten terutama tumbuh karena ideologi yang dianutnya, yang kemudian ia terjemahkan ke dalam arsitektur. Karsten merupakan salah satu tokoh yang melihat ruang kota dalam konteks yang lebih liberal, berbeda dengan pandangan yang berkembang saat itu, kolonial konservatif. Sentuhan budaya lokal pun merupakan ciri khas Karsten. Ia memberikan pandangan mengenai upaya reformasi untuk memodernisasi masyarakat Hindia Belanda melalui arsitektur, terutama perumahan.


Meskipun tidak dilatih sebagai perencana kota, Karsten memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap persoalan-persoalan perkotaan, melewati batas pengkotakkan menurut ras.Kasus pertama yang dihadapi oleh Karsten adalah bagaimana merencanakan Kota Semarang. Pada masa itu (tahun 1914), Kota Semarang menglami persoalan menyangkut saluran air kotor, saluran air bersih, perumahan dan sanitasi.Bersama dengan Plate, kepala Departemen Pekerjaan Umum Kota Semarang, Karsten menekankan rencana kota melalui integrasi estetis, kepraktisan, dan persyaratan sosial yang dapat diterima seluruh kelompok masyarakat.


Terkait dengan gagasan kolonialisme yang berkembang saat itu, seluruh komponen sosial diterjemahkan ke dalam bentuk pertentangan. Perencanaan kota kolonial dimplementasikan secara terperinci melalui tatanan hubungan antara berbagai penduduk kota, baik secara etnis, ras, maupun ekonomi. Karsten secara tegas menolak gagasan yang demikian dan memulai suatu proses yang memungkinkan elemen-elemen lokal untuk beriteraksi dengan lemen-elemen kolonial.

Dalam merencanakan public housing atau volkshuisvesting, pengaruh kolonial sangat dominan membentukan pembentukan lanskap kota, sehingga dalam konteks ini perhatian Karsten diarahkan bagi pengembangan perumahan yang memecahkan “masalah-masalah” kolonial (seperti dominasi rumah tinggal bagi warga Eropa, kepemilikan lahan, dll), perbaikan budaya, dan kesehatan. Pada tahun 1971, Karsten merencanakan Candi Baru, sebagai perluasan dari rencana Semarang yang ada dengan mengakomodasi seluruh kelompok etnis menurut kebiasaan masing-masing. Di Yogyakarta dan Solo, Karsten merencanakan bangunan pasar untuk mengorganisasikan pedagang-pedagang kecil. Karsten juga menghasilkan rencana induk untuk kota-kota di pinggiran Batavia, termasuk pula di pusat kotanya.

Pada tahun 1921, Thomas Karsten mempresentasikan makalah Indies Town Planning di Kongres Desentralisasi. Makalah ini dapat dianggap sangat radikal pada waktu itu. Karsten berpendapat bahwa perencanaan kota merupakan aktivitas yang saling terkait (sosial, teknologi, ekonomi, dll.) yang harus dipertimbangkan bagi terciptanya keselasaran lingkungan perkotaan. Gagasan Karsten untuk pendekatan metodologis adalah untuk menciptakan rencana kota organis dengan dimensi sosial yang dapat diterima di Hindia Belanda, begitu juga di Belanda.

Makalah yang disampaikan oleh Karsten memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perencanaan public housing, seperti pedoman kota bagi perluasan perkotaan dan perumahan (1926), prioritas hak atas lahan (1926), dan penyediaan 50% subsidi dalam proyek perbaikan kampung. Tahun 1930, Thomas Karsten bergabung dengan arsitek ternama, politisi, dan birokrat untuk menduduki Town Planning Committee. Komite ini memproduksi rancangan Town Planning Ordinance pada tahun 1938 yang diperuntukan bagi peraturan perencanaan kota, terutama dalam hal mengorganisasikan bangunan dan konstruksi dengan karakteristik sosial dan geografis dan pertumbuhan yang diinginkan. Rencana ini akhirnya tidak mampu diwujudkan karena dimulainya Perang Dunia II.

Kehidupan Karsten: Pandangan Sosial Politik yang Mempengaruhi


Thomas Karsten berasal dari keluarga ningrat. Ayahnya adalah seorang profesor filsafat yang sekaligus adalah seorang wakil rektor. Hal ini yang menyebabkan ia memiliki pandangan yang sangat moderat. Menurut Bogaers (1983) yang menulis biografinya, Karsten adalah seorang yang secara sosial sangat sulit bergaul dan termasuk penyendiri.


Karsten bersekolah di Delf Polytechnische School, dengan mendaftar pada bidang teknik mesin. Dari makalah yang diajukan oleh temannya, Henry Maclaine Pont, fakultas merubah landasan filosofis dan intelektual ketika ia bersekolah disana. Mahasiswa tidak hanya dapat mengajukan proposal kurikulum kepada fakultas, melainkan pula terlibat dalam asosiasi kemahasiswaan ‘Practishe Studie’ (practical study) untuk mendorong aplikasi praktis dari studi teoritis. Keterlibatan dalam asosiasi ini menciptakan jalan hidupnya kemudian. Karsten memiliki perasaan antipati terhadap peradaban Barat yang berlangsung mulai tahun 1920. Ia pun bertekad untuk ‘kembali’ (karena sesungguhnya ia dilahirkan di Jawa) ke Jawa atas undangan temannya, yaitu Henry Maclaine Pont, untuk membantu perusahaan arsitektur yang dimiliki.


Selama empat tahun, tahun 1948, Karsten berhasil mengembangkan sekelompok prinsip-prinsip yang membentuk dasar dari karirnya sebagai perencana kota. Falsfah dasar hidup Karsten dibentuk di Belanda sebelum ia pergi ke Jawa. Kondisi sosial ekonomi yang beragam pada awal abad ke-20 menyebabkan ia memiliki semacam latihan untuk merenungkan kondisi kota kolonial. Dengan mengesampingkan pendidikan yang ia tempuh sebelumnya, Karsten adalah anggota Sociaal Technische Vereeniging, sebuah organisasi profesional yang progresif dan beorientasi terhadap reformasi sosial. Di Amsterdam sendiri, Karsten aktif terlibat dalam debat terkait perencanaan perumahan publik. Karsten pun berteman dengan kelas menengah yang sangat aktif dalam berpolitik (saat itu, Amsterdam merupakan ‘surga’ bagi berkumpulnya intelektual sosialis) yang turut membangun landasan radikal di dalam dirinya. Sebelum pergi ke Jawa, Karsten berkontribusi setidaknya satu laporan perencanaan kota yang signifikan di Belanda berjudul the Volkshuisvesting in de Niuewe Stad de Amsterdam (1909).


Di Jawa, Karsten bekerja di perusahan Maclaine Pont di Semarang. Ia menemkan dirinya berada dalam lingkungan sosial dan ideologis yang menekan. Konteks masalah perkotaan saat itu sangat kompleks. Kesenjangan sosial dimanifestasikan ke dalam kelas sosial sebagaimana halnya ras, di dalam maupun di antaranya kelompok-kelompok tersebut. Secara cepat Karsten mulai terlibat dalam jalinan intrik hirarki kolonial dan lingkungan sosial budaya saat itu. Namun, Karsten mampu menempatkan diri di tengah-tengah yang nantinya akan sangat mendukung bagi upaya mentransformasi kehidupan sosial budaya masyarakat melalui arsitektur.


Prinsip Perencanaan Karsten


Secara umum, perhatian Karsten diarahkan kepada bagaimana merekonsiliasi pertentangan tatanan: perbedaan antara Jawa dan Eropa, begitu juga Cina sebagaimana halnya masyarakat Jawa tradisional dan masyarakat Jawa perkotaan yang kelas menengah. Di dalam peraturan bangunan Buitenzorg (sekarang Bogor), atau disebut Locale Belangen, Karsten menulis sebagai berikut


“[t]he problem was – and is – always the great variation in the buildings that need to be regulated; that extends from intense building (even if not consisting yet of many storeys) to extensive landholdings in the outer suburbs, encompassing both the most modern construction methods and the simplest desa homes, and all differentiated according to the completely different living styles and level of economic development of three, sharply separated races. And, apart from the fact that all these variations have to developed separately as regard technical regulations, is the need to prevent the constantly occurring danger of disorganized intermingling which, from both technical and hygienic, as well as from social and aesthetic reasons is unacceptable.”

Solusi yang ditawarkan oleh Karsten merupakan kombinasi dari berbagai pengendalian – pemahaman terhadap sejumlah perbedaan bentuk – di dalam keseluruhan rencana. Karsten juga menemukan cara untuk mengatasi perbedaan ini melalui pemisahan ras menurut zona atau distrik maupun kelas atau tipe bangunan. Hal inilah yang kemudian membangun prinsip ilmiah dari perencanaan kota. Perencana kota dapat memahami perbedaan kelompok sosial dan nilai yang dianut masing-masing, sembari mencoba untuk lebih fleksibel terhadap perubahan gradual. Disini Karsten memperkenalkan, apa yang disebut oleh Cote (2004), sebagai cultural pedagogy – melalui konsep ini, arsitektur berkontribusi terhadap emansipasi budaya dalam memodernkan lingkungan kota kolonial.Dalam pandangan Karsten, sebuah bentuk kota yang baik merupakan kombinasi makna sosial dan spiritual secara umum, yang dalam konteks rumah, seharusnya mengekspresikan perasaan sosial dan individu yang bernilai bagi penghuninya.


Penutup: Refleksi Singkat


Thomas Karsten merupakan tokoh utama dalam perencanaan kota di Indonesia. Ia memberikan landasan bagi perencanaan kota selanjutnya di Indonesia. Pengaruh yang sangat besar terhadap pemikiran perencanaan kota, muncul dari gagasannya yang sangat radikal di kalangan masyarakat kolonial saat itu. Karsten mencoba untuk mengintegrasikan elemen-elemen lokal dan kolonial ke dalam lingkungan perkotaan, serta mencoba mentransformasikan kehidupan masyarakat Jawa tradisional ke dalam lingkungan sosial kolonial yang modern.


Sayang sekali, saat ini rencana kota kita sedikit sekali memiliki landasan ideologis yang kuat seperti yang dicerminkan dalam pemikiran Karsten. Rencana kota pun lebih beorientasi kepada pemecahan persoalan perkotaan yang seringkali fragmented, ketimbang membantu masyarakat untuk melakukan transformasi sosial budaya yang diharapkan. Terdapat kecenderungan bahwa perencanaan kota telah semakin mekanistik dengan menekankan kepada prosedur yang harus dilalui oleh perencana. Sementara itu, hal-hal mendasar menyangkut visi dan misi bagi perubahan masyarakat sangat jarang sekali disentuh.


Prinsip perencanaan kota oleh Karsten jelas menampakkan posisi keberpihakan perencana terhadap kelompok sosial tertentu, terutama yang dimarjinalkan, meskipun muncul secara samar-samar. Karsten melihat adanya persoalan struktural yang melingkupi masyarakat jajahan, sehingga arsitektur menjadi instrumen yang turut mendorong emansipasi sosial masyarakat jajahan. Pada saat itu, gagasan ini memang mendapatkan ‘angin segar’ melalui Politik Etis maupun UU Desentralisasi saat itu. Karsten-lah yang kemudian menerjemahkannya ke dalam perencanaan kota-kota di Indonesia.


Thomas Karsten memberikan pemikiran yang berani pada masanya. Ia juga menyeimbangkan antara seni dan teknologi, serta transformasi masalah sosial. Mungkinkah perencana kita mampu memiliki gagasan demikian saat ini? Atau setidaknya para perencana mampu mencontoh tentang keberpihakan terhadap kelompok masyarakat yang ditindas dan dimarjinalkan? Semoga saja. [ ]

2008 © Gede Budi Suprayoga


Kampung Deret : Tampak beberapa anak bermain di taman di Kampung Deret di Jakarta
Sumber : LensaIndonesia.com

Presiden Joko Widodo sudah memperkenalkan konsep kampung deret untuk mengatasi kawasan kumuh.
Meskipun konsep kampung deret ini bagus, belum tentu bisa dilaksanakan secara sempurna sesuai dengan rencana. Salah satu permasalahan adalah lahan. 

Namun, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama telah menyelesaikan permasalahan tanah untuk pembangunan kampung deret. Tanah negara yang digunakan untuk kampung deret bisa diberi sertifikat asalkan tidak ada yang mengklaim atau tidak dalam sengketa. ”Tanah negara yang bukan jalur hijau bisa langsung diberi sertifikat. Undang- undang menyatakan, kalau tanah itu sudah ditempati lebih dari 15 tahun, dia berhak mendapatkannya,” kata Basuki.

Pada dasarnya, para penerima bantuan sosial (kampung deret) yang berada di atas tanah negara adalah warga yang sudah tinggal di lokasi itu selama 20 tahun. Warga DKI yang tinggal di kawasan kumuh tertarik setelah melihat sejumlah kampung yang rampung dibangun tahun lalu. Selain hunian permanen yang lebih nyaman, lingkungan tempat tinggal juga terlihat lebih rapi dengan keberadaan jalan yang lebih baik, lampu penerangan jalan, tanaman hias, dan alat pemadam kebakaran.

Apakah konsep kampung deret ini bisa diterapkan dalam skala nasional? Apalagi, sekarang Jokowi sudah terpilih sebagai presiden berdasarkan penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tanggal 2 Juli 2014. Menurut Ali Tranghanda, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW), konsep tersebut sangat bisa diterapkan pada level nasional. Bahkan, program ini bisa mengatasi kekurangan rumah (back log) yang saat ini berjumlah 15 juta unit.

Menurut Ali, sebelum dibangun kampung deret, tanah-tanah negara yang ada harus dipetakan terlebih dahulu. Oleh karena itu diperlukan peran nyata dari setiap pemerintah daerah. Pelaksanaan program penataan rumah di permukiman padat, terutama di Jakarta, harus didukung pemetaan jaringan infrastruktur listrik dan air. Selain itu, tanah yang dipakai untuk kampung deret tidak dalam sengketa.

Program kampung deret di Jakarta tidak mengubah status kepemilikan, tetapi hanya mengubah tampilan muka dan membuka atap rumah warga yang saling bertemu sehingga tercipta permukiman yang sehat. 

Status kepemilikan lahan

Menurut Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan DKI Jakarta Yonathan Pasodung, pembangunan kampung deret periode pertama dilakukan di 26 tempat. Kemudian Pemprov DKI melengkapi sarana penerangan dan air bersih di kampung deret. Salah satu kampung deret yang sudah jadi berada di Petogogan, Jakarta Selatan.

Supaya kampung deret ini bisa dilaksanakan secara maksimal, pemda juga harus memperhatikan aspek teknis. Menurut pengamat perkotaan Yayat Supriatna, rumah deret awalnya memang cenderung pada aspek rehabilitasi, belum menyentuh aspek yang paling penting, yaitu status kepemilikan lahan atau pengadaan tanahnya.

Untuk itu, lanjut dia, program kampung deret tidak bisa dilakukan di setiap permukiman. Program kampung deret juga menjadi bagian dari upaya Pemda DKI dalam menyediakan rumah yang layak dan sehat bagi warga berpenghasilan rendah.

”Sebenarnya jalan tengahnya sudah dicoba melalui peran PT Jakarta Propertindo sebagai BUMD. PT Jakpro diberi mandat oleh gubernur untuk mengadakan tanah murah untuk pembangunan rumah susun,” kata Yayat Supriatna.

Tanah yang sudah dibeli oleh Jakpro ditawarkan kepada pengembang yang bersedia berinvestasi membangun rusun. Jika Jakpro sukses dengan konsep bank lahannya ini diyakini akan membantu percepatan pengadaan rumah murah bagi warga yang tidak mampu. Terkait kebutuhan listrik, lanjut Yayat, harus diakui saat ini PLN sedang menghadapi krisis energi. Tidak hanya kampung deret yang seret aliran listriknya, tetapi banyak obyek lain, seperti program rusun, juga mengalami hal serupa.

Dinas Perumahan DKI Jakarta sampai saat ini hanya berwenang terkait dengan rehabilitasi rumah. Pengadaan listrik sebenarnya tanggung jawab individu. ”Untuk itulah ke depan jangan sampai program kampung deret jalan sendiri. Sejak awal harus ada komitmen dengan pihak yang berwenang dalam pengadaan infrastruktur penting, seperti listrik dan air,” kata Yayat.

Dulu, tambah Yayat, Kementerian Perumahan Rakyat punya konsep kasiba (kawasan siap bangun) dan lisiba (lingkungan siap bangun). Akan tetapi, program ini gagal ketika ketersediaan infrastruktur kota tidak mendukung. Semoga program rumah deret ini bisa dilaksanakan dalam pemerintahan baru Jokowi-Jusuf Kalla.

Sumber : Kompas.com