Background

KOTA KOLONIAL LAMA SEMARANG

Tinjauan Umum Sejarah Perkembangan Arsitektur Kota)
L.M.F. Purwanto Staff Pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Katolik Sugijopranoto
e-mail: purwanto@gmx.de

Gambar Benteng „Vijfhoek“ tahun 1756 (Sumaningsih, Y.T., 1995)
(
ABSTRAK
Kota lama Semarang, sebuah obyek yang menarik. Tidak hanya sekedar obyek wisata, namun juga sebagai obyek penelitian yang tak ada habisnya. Setelah banyak dikupas dari sisi sejarah, tata kota dan pariwisata, mulai berkembang penelitian mengenai konservasi dan kondisi fisik bangunannya. Penelitian perkembangan kota juga diperlukan untuk penelitian sekunder dalam pengamatan perubahan kondisi klimatologi. Karena semakin padat penduduk dan sarana transportasinya, akan berpengaruh terhadap perubahan klimatologi. Namun sisi arkeologi yang mencoba mengupas jejakjejak peninggalan sejarah di kota lama ini belum banyak dilakukan. Satu bagian dari disertasi ini, mengupas sejarah dengan pendekatan historikal dan studi pustaka, yang masih membuka peluang diskusi tentang pembuktian arkeologis jejak-jejak kota lama yang telah hilang. Bukti adanya benteng di kota lama Semarang, hanya dapat dijumpai dalam peta, namun penelitian arkeologis untuk memperkuat keberadaan benteng tersebut dirasa perlu dilakukan.

PENDAHULUAN
Sejak lama, kota lama Semarang telah menjadi satu obyek yang sangat menarik. Pada awal mula terbentuknya, seakan menjadi lahan percobaan dan ladang uji coba para arsitek dalam menuangkan ide perencanaannya, baik dari sisi perkotaan maupun arsitekturnya. Peninggalan bangsa Belanda ini, tetap terawat dan terjaga setelah masa kemerdekaan dan bahkan sampai saat ini. Setelah diangkat sebagai obyek pariwisata dan dipromosikan sebagai maskot kota Semarang, bahkan dengan julukan „Belanda mini“, maka banyak peneliti perkotaan dan arsitektur
mulai bermunculan dan seakan satu mata air yang tak habis-habisnya ditimba. Penelitian yang ada saat itu
masih menggunakan metoda pendekatan historikal semata. Buku-buku kuno, foto-foto dan peta-peta kuno diulas dan di analisis. Namun penelitian arkeologis untuk membuktikan kebenaran peta-peta kuno belum pernah dilakukan. Karena bukti fisik berupa foto, sampai sekarang belum lengkap. Sebagai contoh, keberadaan Benteng kota Semarang  masih lemah dan dapat diperdebatkan, apakah yang ada di peta benar-benar ada dan pernah ada, atau gambar tersebut dahulu masih berupa gambar pra rencana yang belum sempat terbangun. Maka pembuktan arkeologis sangat diperlukan. 

Penelitian ini masih menggunakan pendekatan  historikal, karena penelitian perkembangan kota dilakukan sebagai pendukung untuk pengamatan adanya perubahan kondisi klimatologis dalam Kota lama Semarang. Perubahan kondisi klimatologis ini memberikan andil yang cukup besar dalam perubahan kondisi iklim mikro di dalam bangunan
kuno di Kota lama Semarang ini. 

PERKEMBANGAN KOTA DAN ARSITEKTUR HINDIA BELANDA DI INDONESIA
Sejarah mencatat, bahwa bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Indonesia adalah Portugis, yang kemudian  diikuti oleh Spanyol, Inggris dan  Belanda. Pada mulanya kedatangan mereka dengan maksud berdagang. Mereka membangun rumah dan pemukimannya di beberapa kota di Indonesia yang biasanya terletak dekat dengan pelabuhan. Dinding rumah mereka terbuat dari kayu dan papan dengan penutup atap ijuk. Bangsa Eropa berusaha menguasai
perekonomian d Indonesia dan sering terjadi konflik diantara mereka sendiri. Sementara itu bangsa Indonesia sendiri tidak menyukai sistem perdagangan mereka, sehingga terjadi pula konflik  antara orang Indonesia dan bangsa Eropa. Karena konflik-konflik tersebut, maka mereka tidak merasa nyaman lagi. Mulailah mereka
membangun benteng-benteng. Dinding benteng tersebut dibuat dari tanah liat dengan ketinggian 2,5 m dan tebal 1m. Benteng-benteng tersebut hampir dapat dijumpai di setiap kota-kota besar dan kota perdagangan di Indonesia. Banyak benteng dibangun sebagai pusat militer dan pusat pendukung yang strategis bagi pemerintahan Hindia Belanda, seperti di Ambon, Ternate, Makasar, Banten, Batavia dan Semarang. Di Ambon dibangun benteng pada tahun
1580 dengan nama Benteng „Victoria“, di Makasar bernama Benteng „Rotterdam“, di Jakarta pada tahun 1611 dengan nama Benteng „Batavia“ (lihat gambar 1) dan di Semarang dengan nama Benteng „Vifjhoek“. 

Ada kemungkinan lain, bahwa pembangunan benteng, juga merupakan tren saat itu, karena hampir di setiap kota di Eropa juga dikelilingi oleh benteng. Biasanya mereka berdekatan dengan stasiun kereta api atau pelabuhan. Di Semarang sendiri, lokasinya sangat mirip dengan kota-kota di Eropa (seperti juga terlihat di Jerman).

Di dalam benteng tersebut, mulailah bangsa Eropa membangun beberapa bangunan dari bahan batu bata. Batu bata dan para tukang didatangkan dari negara Eropa. Mereka membangun banyak rumah, gereja dan bangunan-bangunan umum lainnya dengan bentuk tata kota dan arsitektur yang sama persis dengan negara asal mereka. Dari era ini pulalah mulai berkembang arsitektur kolonial Belanda di Indonesia.

Setelah melewati beberapa kali peperangan, maka mereka merasa perlu untuk meningkatkan keamanan benteng dengan membangun banyak kanal dan saluran disekitar benteng. Selain itu, pembangunan kanal ini semakin memperkuat suasana kota-kota yang semakin mirip dengan suasana kota di Belanda. Memang ada beberapa kanal yang dibangun dengan alasan untuk menanggulangi banjir, seperti di kota Semarang dan Jakarta.

Perkembangan kota di dalam benteng semakin lama semakin padat dan mereka mulai berani mengembangkan di luar Benteng. Setelah mereka dapat semakin meningkatkan keamanan dan mampu menekan pergolakan-pergolakan yang ada, serta kebutuhan akan sarana transportasi yang menuntut pelebaran jalan, maka mulailah mereka membongkar benteng. Jalan-jalan dibangun dan menembus pemukiman di dalam benteng. 

Setelah memiliki pengalaman yang cukup dalam membangun rumah dan bangunan di daerah tropis lembab, maka mereka mulai memodifikasi bangunan mereka dengan bentuk-bentuk yang lebih tepat dan dapat meningkatkan kenyamanan di dalam bangunan. Teritisan yang panjang dan pembayangan mulai dipikirkan dalam bangunan kolonial Belanda tersebut. Kritik dari H.P. Berlage dan Hoytema juga sangat berperan dalam perubahan paradigma pembangunan bangunan kolonial Belanda di
Indonesia (Cramer, B.J.K, 1924). Bangunan Karya Thomas Karsten menjadi bukti adanya upaya memperhitungkan permasalahan iklim, lingkungan dan budaya dalam bangunan kolonial Belanda.

Bentuk kota Semarang saat ini sangatlah berbeda dengan bentuk kota Semarang pada masa awal mulanya. Van Bemmelen, seorang ahli geologi Belanda, mengemukakan satu teorinya, bahwa garis pantai utara pulau Jawa pada jaman dahulu terletak beberapa kilometer menjorok ke daratan saat ini. Laju pengendapan lumpur yang membuat endapan tanah baru bergerak dengan kecepatan 8 m per tahun. Endapan lumpur tersebut berasal dari Demak yang mengalir melalui sungai Kali Garang.
Bentuk dari garis pantai tahun 900 dapat dilihat pada gambar 3, di mana garis perbukitan Bergota merupakan garis pantai pada saat itu.

Pada tahun 900 bis 1500 merupakan masa permulaan endapan alluvial. Pembentukannya dimulai dari sedimentasi endapan lumpur dari daerah Muara yang berasal dari Kali Kreo, Kali Kripik dan Kali Garang. Semarang merupakan satu kota besar dan merupakan kota perdagangan dari kerajaan Demak. Pada tahun 1476 Kiai Ageng Pandanaran mulai membangun pemukiman Pribumi. Awal 1500 Garis pantai Semarang teah mencapai daerah Sleko saat ini. Pada saat itu pelabuhan Semarang telah menjadi pelabuhan penting dan terkena, sehingga banyak kapal dagang asing berlabuh di sana. Pedagang Cina mendarat sekitar permulaan abad 15, Portugis dan Belanda pada permulaan abad 16, dari Malaysia, India, Arab dan Persia pada permulaan abad 17. Para pendatang tersebut membuat pemukiman-pemukiman etnis
masing-masing seperti terlihat pada gambar 4. 

Orang-orang Belanda dan Melayu mendirikan permukimannya di muara Kali Semarang, orangorang Cina bermukim di sekitar Simongan dan perkampungan Jawa di sepanjang Kali Semarang. Pada saat itu Semarang masuk dalam wilayah pemerintahan Susuhunan Surakarta, tetapi kemudian digadaikan ke pemerintahan Belanda, karena Susuhunan meminjam uang dari VOC dalam jumlah yang besar. Semarang selanjutnya menjadi basis militer dan pusat perdagangan Belanda. Karena sering timbul konflik dan peperangan dengan rakyat yang tidak menghendaki Semarang dibawah kekuasaan Belanda, maka kemudian pada tahun 1600, Belanda membangun benteng di pusat Kota Semarang. Di dalam Benteng ini kemudian berkembang pula sebagai perkampungan Belanda.  Benteng ini memiliki lima menara pengawas
(gambar 5).

Wilayah kota Semarang berkembang pesat pada pertengahan abad 18 dengan membangun banyak bangunan perkantoran dan fasilitas sosial. (gambar 6). Kota Semarang semakin berkembang dan banyak jalan-jalan baru dibangun pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda juga memindahkan pemukiman Cina dari daerah Simongan (Gedung Batu) ke pemukiman baru dekat pemukiman Belanda yang sekarang dikenal dengan Pecinan Semarang, karena orang Cina memberontak membantu Sultan Surakarta melawan Belanda. Ada dua kawasan pemukiman besar, yaitu Pemukiman Belanda dibawah pemerintahan gubernur Belanda, yang mengurus daerah di dalam Benteng dan penduduknya dan pemukiman pribumi yang berada di luar gerbang benteng. Di dalam Benteng berkembang menjadi satu pemukiman dan kota tersendiri dan berfungsi mengatur seluruh kota Semarang, karena di dalam Benteng inilah terdapat pusat pemerintahan. Ketika perkembangan perekonomian Belanda semakin meningkat, maka mulai dibangun vila-vila di Bojong dan Randusari di sekitar tahun 1758. (Jessup, H., 1985)


Pemukiman Pribumi juga berkembang sampai Poncol, Randusari, Depok dan lain-lain. Pada saat itu jalan penghubung antara Bojong dan Depok juga mulai dibangun (gambar 7). Dilanjutkan dengan pembangunan jalan Mataram sampai utara batas kota dan jalan Ronggowarsito sampai pantai utara, jalan Bulu, Jagalan dan jalan Petudungan (gambar 8) 

Dalam Staatsblatt 1906, Nomer 120, dijelaskan, bahwa pemerintahan Semarang disebutkan sebagai „Staadsgemeente van Semarang“. Hal in berarti, bahwa Semarang bukan lagi dipimpin oleh Bupati. Hal ini disebabkan Semarang sudah menjadi kota besar dengan permasalahan yang lebih kompleks. Pelabuhan Tanjung Mas dan Bandara Kalibanteng mulai dibangun sekitar tahun 1931 sampai 1933, bersamaan dengan pembangunan Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur. Tahun 1930  Ingenieur Herman Thomas Karsten mengajukan rencana master plan untuk pengembangan kota Semarang. (Jessup, H., 1985)

Tahun 1942 terjadi perang dunia II yang mngakibatkan perpindahan kekuasaan dari Belanda ke pemerintahan Jepang. Hal menjadikan perkembangan kota Semarang mulai tersendat. Tentara Jepang malah banyak melakukan perusakan di manamana. Setelah Jepang kalah perang dan meninggalkan Indonesia, dimulai lagi  perkembangan kota Semarang. Batas kota Semarang mulai lagi melebar. Sejak awal tahun 1950 pemukiman di Krobokan, Seroja, Pleburan, Jangli, Mrican dll mulai berkembang pesat. Pusat perdagangan juga mulai bermunculan seperti pasar Johar, Bulu, Dargo, Karangayu dan Pasar Langgar. Sarana trasportasi modern juga semakin lengkap dengan adanya stasiun Bubakan. Selanjutnya daerah Srondol berkembang menjadi pusat perdagangan dan industri.

KOTA LAMA SEMARANG 
Kota Lama Semarang terletak di Kelurahan Bandarharjo, kecamatan Semarang Utara. Batas Kota Lama Semarang adalah sebelah Utara Jalan Merak dengan stasiun Tawang-nya, sebelah Timur berupa jalan Cendrawasih, sebelah Selatan adalah jalan Sendowo dan sebelah Barat berupa jalan Mpu Tantular dan sepanjang sungai Semarang. Luas Kota Lama Semarang sekitar 0,3125 km Seperti kota-kota lainnya yang berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda, dibangun pula benteng sebagai pusat militer. Benteng ini berbentuk segi lima dan pertama kali dibangun di sisi barat kota lama Semarang saat ini. Benteng ini hanya memiliki
satu gerbang di sisi selatannya dan lima menara pengawas. Masing-masing menara diberinama: Zeeland, Amsterdam, Utrecht, Raamsdonk dan Bunschoten. Pemerintah Belanda memindahkan pemukiman Cina pada tahun 1731 di dekat pemukiman Belanda, untuk memudahkan pengawasan terhadap segala aktifitas orang Cina. 

Oleh sebab itu, Benteng tidak hanya sebagai pusat militer, namun juga sebagai menara pengawas bagi segala aktifitas kegiatan orang Cina. Kemudian permukiman Belanda mulai bertumbuh di sisi timur benteng „Vijfhoek“. Banyak rumah, gereja dan bangunan perkantoran dibangun di pemukiman ini. Pemukiman ini adalah cikal bakal dari kota lama Semarang. Pemukiman ini terkenal dengan nama „de Europeeshe Buurt“. Bentuk tata kota dan arsitektur pemukiman ini dibentuk mirip dengan tata kota dan arsitektur di Belanda. Kali Semarang dibentuk menyerupai Kanal-kanal di Belanda. Pada masa itu benteng „Vifjhoek“ belum menyatu dengan pemukiman Belanda (gambar 11). 

Kota lama Semarang direncanakan sebagai pusat dari pemerintahan kolonial Belanda dengan banyak bangunan kolonialnya. Ini terjadi setelah penandatanganan perjanjian antara Mataram dan VOC pada tanggal 15 Januari 1678. Dalam perjanjian tersebut dinyatakan, bahwa Semarang sebagai Pelabuhan utama kerajaan Mataram telah diserahkan kepada pihak VOC, karena VOC membantu Mataram menumpas pemberontakan Trunojoyo. Mulai tahun 1705, Semarang menjadi milik secara penuh V.O.C. Sejak saat itu mulai muncul banyak pemberontakan. Dan suasana menjadi tidak aman lagi. Belanda membangun Benteng untuk melindungi pemukimannya. Benteng yang terletak di sisi barat kota lama ini di bongkar dan dibangun benteng baru yang melindungi seluruh kota lama Semarang. Pada dinding sebelah barat terltak di sepanjang jalan Mpu Tantular (dahulu „Wester-wal-Straat“) dan Kali Semarang. 

Dinding sisi Utara terletak di sepanjang jalan Merak (dahulu  „Norder-wal-Straat“). Tembok timur terletak di jalan Cendrawasih („Ooster-wal-Straat“) dan tembok sisi selatan terletak di jalan Kepodang, yang dahulu bernama „Zuider-wal-Straat“ (gambar 11 dan 12). Benteng ini memiliki tiga Gerbang di sisi Barat,
Timur dan Selatan. Gerbang barat bernama „de Wester Poort“ atau „de Gouvernementspoort“, karena terletak dekat dengan daerah pemerintahan VOC. Gerbang selatan bernama „de Zuider Poort“ dan Gerbang timur bernama „de Oost Poort“. Kehidupan di dalam Benteng berkembang dengan baik. Mulai banyak bermunculan bangunanbangunan baru. Pemerintah Kolonial Belanda  membangun gereja Kristen baru yang bernama gereja „Emmanuel“ yang sekarang terkenal dengan nama „Gereja Blenduk“. Pada sebelah utara Benteng dibangun Pusat komando militer untuk menjamin pertahanan dan keamanan di dalam benteng.

Tahun 1824 gerbang dan menara pengawas benteng ini mulai dirobohkan. Orang Belanda dan orang Eropa lainnya mulai menempati pemukiman di sekitar jalan Bojong (sekarang jalan Pemuda). Pada era ini kota lama Semarang telah tumbuh menjadi kota kecil yang lengkap. Pada saat pemerintahan gubernur Jenderal Daendels (1808-1811), dibangun jalan post (Postweg) antara Anyer dan Panarukan. Jalan „de Heerenstraat“ (sekarang jalan Let. Jend. Suprapto) menjadi bagian dari jalan post tersebut (van Lier, H.P.J. 1928).

Banyak bangunan di perbaiki. Gereja kristen Emmanuel (Gereja Blenduk) yang berarsitektur reinessance direnovasi pada tahun 1894. Tahun 1924, seperempat abad setelah berakhirnya VOC, pemukiman Belanda mulai berkembang ke jalan Bojong, ke arah barat (jalan Daendels) dan di sepanjang jalan Mataram. Menjelang abad 20 kota lama semakin berkembang pesat dan banyak dibangun kantor perdagangan, bank, kantor asuransi, notaris, hotel, dan pertokoan. Di sisi Timur gereja Belenduk, dibangun lapangan terbuka yang digunakan untuk parade militer atau pertunjukan musik di sore hari (van Velsen M.M.F. 1931) Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia mengambil alih usaha-usaha dagang Belanda, kantor-kantor dan bangunan-bangunan lainnya. Karena tidak adanya perkembangan dalam
pengelolaan perdagangan dan perekonomian di wilayah kota lama ini, maka banyak pemilik baru bangunan kuno ini yang meninggalkan bangunannya dan dibiarkan kosong tak terawat. Kota lama Semarang dianggap bukan lagi sebagai pusat kota, pusat perekonomian dan pusat segala kegiatan, namun bergeser di tempat lain. Dengan demikian lambat laun kota ini menjadi mati dan hanya beberapa bangunan saja yang masih berfungsi. Di malam hari tidak ada kegiatan sama sekali di kota ini, sehingga benar-benar menjadi kota mati di malam hari.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini, diketahui bahwa kota lama Semarang telah mengalami beberapa periode perkembangan. Walaupun perkembangan tersebut tercatat dalam buku, gambar dan peta, namun penelitian arkeologis untuk membuktikan keberadaan bangunan dan benteng yang telah runtuh, belum dilakukan. Sisa-sisa reruntuhannya tidak diketahui jejaknya sama sekali. Sehingga menimbulkan keraguan, apakah peta tersebut menunjukkan kebenaran, bahwa dahulu memang ada dan pernah berdiri benteng tersebut, ataukah peta tersebut menggambarkan suatu rencana (gambar pra rencana).

Dengan demikian kota lama Semarang masih menyimpan “Misteri” yang memungkinkan dijadikan obyek penelitian lebih lanjut. 

DAFTAR PUSTAKA
Brommer, B, et.al., Beeld van Een Stadt, Asia Major, Nederland. 1995.
Cramer, B.J.K. Dr. Berlage over moderne Indische Bouwkunst en Stadtsontwikkeling, Indisch Bouwkundig Tijdschrift 2. 1924, H.6
Jessup, H., The Dutch Colonial Villa, Indonesia, In MIMAR 13: Architecture in Development, Concept Media Ltd, Singapore. 1984. 
Jessup, H., Dutch Architectural Visions of the Indonesian Tradition, in Muqarnas III: An Annual on Islamic Art and Architecture, Journal Article 4, 1985, H.3
Karsten, H.T. Bij de eerste Indiese Architectuur Tentoonsteeling, De Teak 3, 1920, H. 33 
Muljadinata, A. S., Karsten dan Penataan Kota Semarang, Thes. Mag. Arch., Institut Teknologi Bandung. 1993.
Sumaningsih, Y.T., Sistem Visual Kawasan Pusat Kota Lama, studi kasus: Pusat Kota Lama Semarang,Thes. Mag. Arch., Universitas Gadjahmada Yogyakarta. 1995.
van der Wall, V.J., Oude Hollandsche Bouwkunst in Indonesia, Hollandsche koloniale bouwkunst in de XVII ein XVIII eeuw, Antwerp. 1942.
van Lier, H.P.J. Semarang´s Stad en ”ommelanden”, ohne Verlag, Semarang. 1928.
van Velsen, M.M.F. Gedenkboek der Gemeente Semarang, N.V. Dagblad de Lokomotief, Semarang. 1931.
--------, Ohne Verfasser: Daten, Fakten, Aspekte, INDONESIEN, ein Länderprofil, Evangelisches Missionswerk in Südwestdeutschland e.V., Stuttgart. 1989.
---------, Stichting Viering 400 jaar VOC, Die niederländische Regierung, Amsterdam http://voc-kenniscentrum.nl/. 1999.

Leave a Reply